Mastel menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan yang sangat mendalam atas vonis yang dijatuhkan oleh majelis Hakim Tipikor kepada Indar Atmanto, terdakwa di dalam kasus kriminalisasi IM2-Indosat di persidangan Tipikor, Jakarta tanggal 08 Juli 2013.
Beberapa hal yang mendasari kekecewaan Mastel, pelaku Industri dan BRTI adalah sebagai berikut:
1. MASTEL, Pelaku Industri dan BRTI mengikuti dengan seksama proses PANJANG persidangan yang berlangsung lebih dari 6 bulan dengan mendengarkan keterangan dari berbagai saksi ahli, saksi fakta dan penjelasan dari terdakwa sendiri, namun disayangkan majelis Hakim Tipikor ternyata tidak memahami dan tidak mampu menyerap esensi perkara yang mereka sidangkan.
Majelis Hakim telah keliru dengan hanya melihat PP 53 tahun 2000 dan sama sekali tidak mempertimbangkan PP 52 tahun 2000 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang di dalamnya mengatur hubungan antara penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi. Majelis Hakim juga mengabaikan ketentuan Pasal 7 UU 36/1999 tentang Telekomunikasi yang mengatur secara jelas jenis-jenis penyelenggaraan telekomunikasi, yaitu Penyelenggaraan Jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus.
Padahal PP 52 tahun 2000 adalah dasar hukum yang MEMBOLEHKAN ATAU MEMERINTAHKAN penyelenggara jasa ber-PKS dengan Penyelenggara Jaringan di mana salah satu jaringan itu adalah Jaringan seluler yang beroperasi di pita 2.1GHz.
Majelis Hakim menyatakan PKS itu perbuatan melawan hukum, sedangkan PP-52-thn-2000 memerintahkan 2-pihak untuk ber-PKS.
2. Majelis Hakim juga sama sekali mengabaikan fakta bahwa IM2 adalah Perusahaan Penyelenggara Jasa Telekomunikasi yang telah memperoleh Izin Penyelenggaraan dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 65/M.KOMINFO/02/2012 tanggal 24 Februari 2013 yang eksistensinya diatur dan dijamin di dalam UU No.36 tahun 1999.
Mastel dan BRTI melihat bahwa Majelis Hakim dengan sangat kentara mengikuti 100% cara berpikir dan pemahaman yang sangat keliru dari Jaksa Penuntut Umum bahwa PT IM2 wajib memiliki izin Jaringan. Pemahaman ini tentu amat fatal; bagaimana mungkin perusahaan yang ingin menyelenggarakan jasa DIPAKSA harus memiliki Jaringan telekomunikasi.
Tentu ini amat bertentangan dengan bunyi Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan:
"Penyelenggara Jasa dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi".
Penjelasan Pasal 9 Ayat (2):
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Majelis Hakim sama tidak pahamnya dengan JPU bahwa yang dimaksud dengan kalimat "apabila disewakan kembali kepada pihak lain" adalah "Kapasitas jaringan", sedangkan PKS antara IM2 dengan INDOSAT mengenai penggunaan jaringan untuk keperluan IM2 sendiri yaitu menyelenggarakan jasa telekomunikasi sesuai dengan izin yang dimilikinya.
Perlu ditegaskan kembali bahwa IM2 adalah penyelenggara jasa telekomunikasi, bukan penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Majelis Hakim mengabaikan bunyi Pasal 9 ayat (2) UU 36/1999 di batang tubuh sehingga gagal memahami maksud dari penjelasan ayat (2) di atas.
Majelis Hakim mengaitkan penafsiran keliru atas pasal 9 ini dengan Pasal 29 PP 53 thn 2000 yang menyatakan bahwa setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar BHP-frekuensi.
3. Frekuensi radio yang digunakan oleh IM2 berdasarkan PKS dengan INDOSAT, kewajiban pembayaran BHP Frekuensi nya telah ditunaikan oleh INDOSAT sebagai penyelenggara jaringan yang telah memiliki Izin Spektrum Frekuensi Radio dari Pemerintah.
Akibat pemahaman ini, Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan yang sama dengan pemahaman JPU yang menyatakan bahwa seluruh penyelenggara telekomunikasi, baik penyelenggara jaringan ataupun penyelenggara jasa wajib membayar BHP-frekuensi. [mengacu pasal 29 PP 53-tahun-2000 saja semata tanpa mengkaitkan dengan PP-52-2000 terkait Jaringan telekomunikasi dan hubungannya dengan penyelenggara jasa yang tidak memiliki jaringan seluler].
4. Mastel juga mempertanyakan sikap majelis Hakim yang dengan terang benderang mengabaikan Surat Penjelasan Menkominfo yang dengan tegas menyatakan bahwa Perjanjian Kerjasama antara Indosat dan IM2 tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Mastel beranggapan bahwa mengabaikan surat keterangan Menkominfo sebagai regulator dalam urusan telekomunikasi tersebut sama saja dengan mengabaikan UU 36 tahun 1999.
Kita tidak bisa menerima PENEGAKAN HUKUM DENGAN MENGABAIKAN UU/HUKUM YANG ADA. Sangat tidak dapat diterima di dalam amar keputusannya Majelis hanya mengambil pasal-pasal yang dirasa cocok dengan yang diperlukan tanpa pemahaman yang benar dan mengabaikan pasal-pasal lain yang tidak mendukung posisi yang diambil oleh majelis.
5. Mastel meminta kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo dan BRTI untuk menyikapi keputusan ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan segera demi terjaminnya kepastian hukum dan kepastian berusaha di industri telekomunikasi, untuk melindungi industri penyelenggara Internet dan Perbankan dari kriminalisasi yang serupa. Hal ini penting mengingat apabila vonis ini inkracht maka seluruh ISP dan Perbankan harus dianggap kriminal dan dianggap melawan hukum karena mereka di dalam operasionalnya mempergunakan frekuensi sebagaimana yang dilakukan oleh IM2.
Sumber: